makalah kawin sasuku di minangkabau
BAB
I
Latar
Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu perbuatan mulia dan
merupakan kebutuhan rohani dan jasmani dalam kehidupan manusia. Sudah menjadi
sunnatullah bahwa sesuatu dijadikan tuhan berpasang-pasangan. Begitupun manusia
dijadikann Allah SWT dua jenis, laki-laki dan perempuan. Untuk mengikat kedua
jenis laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan yang syah, maka dilakukan
perkawinan. Masyarakat Minangkabau memandang masalah perkawinan sebagai suatu
peristiwa yang sangat penting artinya, karena perkawinan tidak hanya menyangkut
kedua calon mempelai saja tetapi juga menyangkut orang tua dan seluruh keluarga
dari kedua belah pihak. Dalam melaksanakan suatu perkawinan, masyarakat
Minangkabau tidak dapat hanya berpedoman pada
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
melainkan perlu juga mempedomani perkawinan menurut aturan-aturan hukum agama
dan hokum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Di samping hukum agama juga perlu mempedomani hukum
adat yang berlaku di daerah Minangkabau. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan hukum perkawinan nasional bagi
setiap warga 3 negara, belum berarti bahwa di dalam pelaksanaan perkawinan di
kalangan masyarakat sudah terlepas dari pengaruh hukum adat sebagai hukum
rakyat yang hidup dan tidak tertulis. Perkawinan mempunyai ketentuan-ketentuan
dan peraturan dalam pelaksanaannya. Menurut hukum adat Minangkabau bahwa orang
dilarang kawin dengan orang dari suku yang sama. Garis keturunan di Minangkabau
ditentukan menurut garis keturunan ibu, garis keturunan ibu yang menentukan
suku seseorang. Sistem perkawinannya disebut dengan eksogami matrilokal
atau eksogami matrilineal yaitu suatu sistem dimana perkawinan dilakukan
dengan
orang yang mempunyai suku yang berbeda.
Larangan melakukan perkawinan sesuku tersebut bagi
masyarakat Minangkabau adalah karena masyarakat Minangkabau memandang bahwa
hubungan sesuku itu merupakan hubungan keluarga, masih terdapatnya pelanggaran
terhadap ketentuan tidak dibolehkannya melakukan perkawinan sesuku tersebut,
tentunya tidak sesuai dengan apa yang telah diatur oleh hukum adat dan itu
mencerminkan bahwa keberadaan hukum adat dewasa ini semakin melemah. Menurut
Hukum Islam terdapat ketentuan-ketentuan bahwa orang tidak boleh mengikat tali
perkawinan dan pertalian yang disebut muhrim, disebabkan pertalian darah,
pertalian perkawinan dan pertalian sepersusuan. Berpilin duanya antara adat dan
Agama Islam di Minangkabau membawa konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat
maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang
tidak dapat diabaikan, khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu
harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan.
Pelanggaran terhadap salah satub ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam
dalam masalah perkawinan akan nmembawa konsekuensi dalam kehidupan bahkan
berkelanjutan pada keturunan.
Larangan melakukan perkawinan sesuku sekarang ini
bagi masyarakat Minangkabau ada kalanya tidak diperhatikan lagi, ada diantara
masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut, seolah-olah peraturan itu
hanyalah sebagai lambing dari peraturan adat.
BAB II
PERNIKAHAN SASUKU DI
MINANGKABAU
1.
HISTORIS
Terungkap!
Rahasia Perkawinan Sesuku Dilarang di Minangkabau
Menikah dengan pasangan yang sesuku bagi orang Minang,
Sumatera barat adalah hal yang tabu. Bagi yang melakukan perkawinan
sesuku ini bisa dipastikan bakal termarjinalkan dari lingkungan
keluarga dan masyarakat Minang dimana mereka tinggal. Di tanah Minang,
perkawinan sesuku tidak diizinkan, kendati beda kabupaten/kota, kecamatan,
desa, atau jorong. Intinya, selagi mereka dalam adat Minang satu suku (pisang,
chaniago, koto, sikumbang, piliang dll), maka akan sulit melangsungkan sebuah
pernikahan.
Perpisahan dan pembatalan seakan telah menjadi sebuah hal
lazim jika mereka yang hendak menikah diketahui sama-sama berasal dari satu
suku. Meskipun sudah berkenalan cukup lama, sudah ada planing jangka
panjang pun barangkali tidak menjadi bahan pertimbangan bagi mereka untuk
mendapat legalitas perkawinan. Menikah sesuku menurut logika hukum Minangkabau
tidak baik. Sanksinya jika dilanggar adalah sanksi moral, dikucilkan dari
pergaulan. Bukan saja pribadi orang yang mengerjakannya, tapi keluarga besar
pun mendapat sanksinya. Selain itu juga beredar mitos di Minangkabau, yang
sudah diyakini turun-temurun, nikah sesuku akan membawa petaka dalam
rumah tangga.
Berikut
7 alasan mengapa masyarakat Minangkabau melarang keras pernikahan sesuku.
1)
Menciptakan
Keturunan yang Tidak Berkualitas
Ilmu kedokteran mengatakan keturunan yang berkualitas
apabila si keturunan dihasilkan dari orang tua yang tidak mempunyai hubungan
darah sama sekali. Adapun keturunan yang terlahir akibat hubungan darah yang
sama akan mengalami kecacatan fisik dan keterbelakangan mental (akibat
genetika).
Secara genetis sebanyak 25 persen anak hasil perkawinan
sedarah akan mengalami kelainan bawaan. Contoh penyakit yang disebabkan oleh
penyakit keturunan antara lain buta warna, hemofilia (kelainan genetik
karena kekurangan faktor pembekuan darah), thallassaemia (kelainan darah),
alergi, albino, asma, diabetes melitus dan penyakit-penyakit lainnya yang
dibawa oleh kromosom. Selain itu juga ada tinjauan psikologis yang tidak mudah
untuk dihindari.
2)
Mengganggu
Psikologis Anak
Anak-anak hasil dari perkawinan sesuku tidak memiliki
suku/kampuang di kenegerian Lipat kain dan tidak memiliki hak-hak secara adat.
Kemudian anak tersebut disamakan statusnya dengan anak hasil perzinahan/anak
luar nikah atau dalam bahasa kampungnya “Anak Gampang”.
3)
Kehilangan
Hak Secara Adat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan perkawinan satu
suku berdampak pada rusaknya tatanan adat yang sudah berlaku sejak lama,
pemberian sanksi bagi pelaku dan keluarga baik moril maupun materiil, serta
hilangnya hak terhadap harta pusaka dan kaburnya sistem kekerabatan matrilineal
dan cenderung mengarah ke sistem parental.
4)
Membawa
Kerugian Materi
Denda secara adat/diberi hutang satu ekor kerbau, dimana
keluarga pelaku kawin satu suku didenda satu ekor kerbau dan mereka harus
memasaknya sendiri. Setelah selesai dimasak maka dipanggil seluruh warga untuk
menikmati hidangan, hal ini dilakukan untuk memberikan sanksi kepada keluarga
besar pelaku kawin sesama suku.
5)
Mempersempit
Pergaulan
Pengucilan secara adat yang disebut dengan kiasan
“dilotakan di Bukik nan tak baagin, dilugha nan tak basaghok”. Dalam
adat-istiadat di Rantau Kampar Kiri kemenakan yang melakukan kawin sesuku,
dianggap seperti binatang yang tidak punya malu, kiasannya “Laksana buah
baluluk, tacampak ka aie indak dimakan ikan, tacampak kadaek indak diicatuk
ayam”.
Bentuk nyatanya pengucilan ini adalah seperti, apabila
keluarga yang melakukan kawin sesuku melakukan pesta maka masyarakat adat tidak
akan menghadirinya (Uma indak ditingkek, nasi indak dimakan, aie indak
diminum).
6)
Pelopor
Kerusakan dalam Kaum
Mereka yang kawin sesuku diyakin sebagai pelopor kerusakan
hubungan dalam kaumnya (kalangan satu suku). Ketika pernikahan sesuku terjadi,
konflik besar akan mudah terjadi. Ibaratkan sebuah negara, akan lebih mudah
hancur apabila terjadi perselisihan sesama rakyatnya daripada perselisihan
sesama dengan negara lain.
Ketika suami istri bertengkar lalu saling mengadu ke
orangtua masing-masing, maka kedua orangtua mereka juga mengadu ke
saudara-saudaranya, ke mamak, ke datuk. Akhirnya terjadilah banyak
pertengkaran, padahal mereka badunsanak dan sesuku. Akhirnya suku hancur
gara-gara perkawinan ini.
7)
Rumah
Tangganya Akan Selalu Dirundung Pertekengkaran dan Perseteruan
Bagi yang melakukan kawin satu suku, secara sosiologis
berpengaruh terhadap kepribadian anak. Anak hasil perkawinan satu suku akan
berahlak buruk dan juga berdampak pada pasangan itu sendiri, rumah tangganya
tidak harmonis, sering terjadi pertengkaran daN perseteruan dalam keluarga itu.
Sedangkan dikaji secara antropologi, kawin satu suku dapat
menyebkan kesenjangan salah satu unsur kebudayaan atau penyimpangan unsur
kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah adat. Karena itu kawin
satu suku merupakan penyimpangan adat.
2. TEOLOGI NORMATIF (NORMA AGAMA)
Nikah Sesuku Dalam Adat Minang
Menurut Kaca Mata Syara'
Adapun orang sesuku yang mahram tidak boleh dinikahi menurut
syara'. Misalnya ibu, saudara perempuan, saudara ibu yang perempuan, dan anak
perempuan dari saudara perempuan sebagai mana dalam ayat yang artinya:
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan
" QS. An-nisa': 23.
Mereka adalah orang sesuku yang tidak boleh dinikahi, karena
mahram sebagaimana dalam ayat.
Macam kedua adalah orang sesuku yang bukan mahram. Seperti
anak perempuan dari saudara perempuan ibu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
firman Allah yang artinya:
"…dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan
ibumu…" QS. Al-ahzab: 50.
Anak perempuan dari saudara perempuan ibu boleh dinikahi
sebagaimana dalam ayat di atas. Karena dia bukan mahram. Adapun menurut adat,
pernikahan seperti ini tidak dibolehkan, karena anak perempuan dari saudara ibu
adalah orang sesuku.
Berdasarkan klasifikasi di atas, maka hukum menikah dengan
sesuku dapat kita rinci sebagai berikut:
Pertama,
menikah dengan orang yang tidak sesuku dan bukan mahram tidak bertentangan
dengan agama dan tidak juga melanggar aturan adat.
Kedua,
menikah dengan sesuku yang mahram bertentangan dengan agama dan aturan adat.
Ketiga,
menikah dengan sesuku yang bukan mahram. Inilah yang menjadi fokus dari
pertanyaan yang akhi sampaikan.
Ada sebuah kaidah yang menjelaskan bahwa adat dan kebiasaan
tidak bisa merubah hakikat hukum yang sudah ditetapkan dalam agama. Artinya,
menikah dengan sesuku yang bukan mahram hukumnya adalah sah dan tidak batal
menurut syara'. Lalu apa sikap kita terhadap aturan adat yang tidak membolehkan
demikian?
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah berkata kepada
Aisyah:
"Wahai Aisyah! Kalau bukan karena kaummu tidak dekat
masanya dengan jahiliyah (masih baru Islam,) sungguh saya akan perintahkan
untuk menghancurkan ka'bah dan saya masukkan bagian yang lain kedalamnya
(seperti yang dibangun Ibrahim. As)." HR. Bukhari.
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa penerapan hukum
syar'i perlu disesuaikan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Karena
itu, penerapan ini membutuhkan pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan
istilah fiqhul waqi' dan fiqhud dakwah.
Bila penerapan hukum pada masyarakat di suatu tempat akan
menimbulkan gejolak, atau sanksi yang memberatkan, maka penerapan itu bisa
ditanguhkan sampai masyarakat memiliki kesiapan untuk itu.
Dalam adat minang, sebenarnya ada aturan-aturan yang baku
dan tidak bisa diubah, seperti dalam pepatah minang "Nan Indak lakang
dek paneh, nan indak lapuak dek ujan". Di antaranya adalah seperti
kepatutan menurut agama, menurut peri kemanusiaan, menurut hukum alam yang
didasarkan pada kodrat ilahi, atau menurut tempat dan waktu. Aturan ini dikenal
dengan istilah adat nan sabana adat.
Selain itu ada juga aturan-aturan yang bisa berubah-ubah
berdasarkan pada kesepakatan. Sebagaimana dalam pepatah "Nan elok
dipakai jo mufakat, nan buruak dibuang jo hetongan, Adat habih dek bakarilahan."
Aturan ini dikenal dengan istilah adat nan diadatkan.
Ada juga kebiasaan yang sifatnya adalah peribadi atau
individu yang bisa ditambah dan dikurangi atau ditinggalkan. Hal ini dikenal
dengan istilah adat nan teradat.
Terakhir adalah adat yang sifatnya kelaziman yang
berubah-ubah mengikuti alur yang ada pada masing-masing tempat. Seperti
kesenian, perhelatan dll. Hal ini dikenal dengan istilah adat istiadat.
Keempat kelompok dari adat ini merupakan modal dasar bagi
para da'i untuk melakukan pembaharuan adat di masa mendatang sesuai dengan
aturan syara' yang sempurna. Peluang ini cukup terbuka untuk dialakuan
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Apalagi adat
minang memiliki falsafah dasar "adat basandi syara', syara' basandi
kitabullah" sebagai mana yang akhi sampaikan. Namun perlu kesabaran dalam
memberikan pemahaman kepada masyarakat sesuai dengan bahasa yang mereka pahami.
Sehingga mereka memiliki kesiapan untuk menyepakati aturan yang sesuai dengan
syara' yang menjadi dasar bagi adat minang.
3. PISIKOLOGIS
(ILMU KEJIWAAN)
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Oleh
karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai
ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan
adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan).
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
sebuah ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan,
baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.
Islam menyukai perkawinan dan segala akibat yang bertalian
dengan perkawinan, bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun bagi
kemanusiaan pada umumnya. Diantara manfaat perkawinan adalah bahwa perkawinan
itu menentramkan jiwa, meredam emosi, menutup pandangan dari segala yang yang
dilarang Allah dan untuk mendapatkan
kasih sayang suami istri yang dihalalkan.
Manfaat Perkawinan lainnya yaitu : menyalurkan nafsu seksual
dengan sebaik baiknya, terhindar dari penyakit yang sangat berbahaya dan
mematikan yakni AIDS (virus HIV), perkawinan itu akan mengembangkan keturunan
untuk menjaga kelangsungan hidup serta untuk menjalin ikatan kekeluargaan,
keluarga suami dan keluarga istrinya, untuk memperkuat kasih sayang sesame
mereka.
Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara
pribadi yang bersangkutan tetapi juga antara kedua kelurga mempelai. Latar
belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal usul, kebiasaan
hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa, dan lain sebagainya.
Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan
pendekatan untuk dapat mengenal watak masing- masing pribadi dan keluarganya
penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan
antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggung jawab, menyangkut
nafkah lahir batin, jaminan hidup dan tanggung jawab pendidikan anak-anak yang
akan dilahirkan. Perkawinan tidak hanya diatur dalam undang-undang saja,
melainkan juga diatur dalam adat istiadat, salah satunya yakni adat
Minangkabau. Minangkabau merupakan masyarakat adat yang memiliki aturan adat
yang sepenuhnya mengikat sebagai sebuah hukum adat ditengah-tengah masyarakat
hukum adatnya, karena pada dasarnya seluruh filsafat adat yang ada berasal dan
tumbuh secara turun-temurun dari masa lampau secara terus-menerus sampai sekarang,
dan merupakan sebuah aturan hukum adat yang mengikat sesuai dengan konteks adat
salingka nagari. Di era Reformasi saat ini, tidak serta merta adat tersebut
bisa ditinggalkan, karena secara nyata adat telah hidup dalam masyarakat
Minangkabau beserta segenap aturannya yang merupakan sebuah hokum yang harus
ditaati oleh masyarakat adatnya.
Masyarakat Minangkabau memandang perkawinan sebagai suatu
peristiwa yang sangat penting, artinya karena perkawinan tidak hanya menyangkut
kedua calon mempelai saja tetapi juga menyangkut orang tua dan seluruh keluarga
dari kedua belah pihak. Dalam melaksanakan suatu perkawinan, masyarakat
Minangkabau tidak hanya dapat berpedoman pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan melainkan juga perlu mempedomani perkawinan menurut
aturan-aturan hukum agama dan hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(1) yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Di samping hukum agama juga
perlu mempedomani hukum adat yang berlaku di daerah Minangkabau. Lahirnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah membawa perubahan
fundamental terhadap tata cara perkawinan yang berlaku secara nasional bagi
setiap warga negara, akan tetapi belum berarti dengan lahirnya undang-undang
tersebut pelaksanaaan perkawinan dikalangan masyarakat sudah terlepas dari pengaruh
hukum adat sebagai hukum rakyat yang hidup dan tidak tertulis.
Perkawinan mempunyai ketentuan-ketentuan dan peraturan dalam
pelaksanaannya. Menurut hukum adat Minangkabau bahwa orang dilarang kawin
dengan orang dari suku yang sama. Garis keturunan di Minangkabau ditentukan
menurut garis keturunan ibu, garis keturunan ibu yang menentukan suku seseorang
Dengan demikian masyarakat Minangkabau haruslah mematuhi apa
yang telah digaris bawahi oleh adat, namun tidak sedikit pula masyarakat yang
melanggar, apakah dikarenakan tidak tahu atau sebab lain. Peran hukum adat
selain dapat dilihat dalam melaksanakan pada upacara adat, juga terlihat dari pelanggaran
hukum adat yang terjadi khususnya dalam perkawinan. Pelanggaran hukum adat
tersebut seperti melangsungkan perkawinan dengan satu kaum atau dalam istilah
adat disebut kawin sasuku, tentunya hal ini tidak akan membenarkan pernikahan
tersebut berlangsung sebelum mereka mendapat sanksi adat yang telah ditetapkan
oleh pemangku adat.
Namun walaupun pada setiap pelanggaran adat sudah diberikan
sanksi, namun hal tersebut tidaklah dapat menjamin aturan tersebut dipatuhi
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sanksi adat ini diberikan kepada
yang melanggar bertujuan agar ia menyadari kesalahannya dan juga sebagai
peringatan bagi generasi sesudahnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Dalam hal pemberian sanksi tentulah dilakukan oleh para pemuka adat yang
disebut ninik mamak, adapun yang paling tertinggi dalam hal memberikan suatu
keputusan yang dilakukan secara musyawarah mufakat. Pemberian sanksi terhadap
larangan kawin sesuku juga ditemukan pada masyarakat hukum adat di Kanagarian
Tiku Kabupaten Agam. Kanagarian Tiku, khususnya Kaum Suku Sikumbang. Suku
Sikumbang merupakan salah satu suku di Minangkabau yang menerapkan aturan
larangan kawin sasuku, dan hal tersebut telah berlangsung secara turun temurun.
Namun dilain sisi aturan adat yang melarang kawin sasuku tersebut tidak
sepenuhnya diketahui oleh masyarakat yang berada di kaum Suku Sikumbang.
4. ANTROPOLGI
(BUDAYA)
masyarakat Minangkabau
menganut sistem kekerabatan matrilineal dimana garis keturunan ibu menentukan
suku seseorang sehingga perkawinan yang sesuku dilarang dalam perkawinan adat
Minangkabau karena dinaggap masih mempunyai hubungan keluarga. Perkawinan
sesuku bagi orang Minang masih menjadi sebuah yang tabu dan sangat sakral untuk
dilanggar, mereka yang melakukan kawin sesuku akan menjadi comoohan dan
dikuncilkan baik dalam lingkungan keluarga atau lingkungkan masyarakat Minang.
Karena mereka menganggap kawin sesuku diyakini sebagai pelopor kerusakan
hubungan dalam kaumnya (kalangan satu suku), dan akan menimbulkan kesenjangan
dalam tatanan sosial. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut terjadi,
dengan perkawinan antara anggota suku yang berbeda akan tetap menjamin
kelangsungan sistem kekerabatan matrilineal dan menjaga keutuhan hukum adat
yang berlaku di daerah Minangkabau.
5. SOSIOLOGI
(MASYARAKAT)\
1.
Pengertian Perakawinan
Saat peralihan yang ada pada semua masyarakat dianggap penting adalah peralihan
dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Dalam
kebudayaan manusia, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang
berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan membatasi seseorang untuk
bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau isterinya. Selain sebagai
pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam
kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu member perlindungan pada anak-anak hasil
perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi
kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik
dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.
2. Perkawinan Adat
Minangkabau
Dalam
tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimana perkawinan memerlukan
penyesuaian dalam banyak hal.Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja
antara pribadi yang bersangkutan, antara marapula
i dan anak dara tetapi juga antara
kedua keluarga.

Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain
sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan,
kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan
keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam
pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu
tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan
tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
Diminang kabau kawin dengan suku yang sama dilarang, karena dianggap
bersaudara, bagi yang melakukan akan mendapatkan hukuman. Hukuman itu tidak
kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat
Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua
syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat
itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah
Kedua calon mempelai harus beragama Islam,Kedua calon mempelai tidak sedarah
atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari
nagari atau luhak yang lain, Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan
menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak, Calon suami (marapulai)
harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan
keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap
perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. Karena itu jika perkawinan satu suku dilakukan maka akan dianggap
perkawinan sumbang.
3. Pengertian Suku di Minang Kabau
Suku dalam tatanan
Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat
pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang
dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di
Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang,
diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari
satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis
politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan
oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya
yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta
milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat
diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam
dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka
harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam
beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun
unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik.
Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah
gadang secara bersama-sama.
4. Penyebab dilarangnya kawin satu
suku
Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan beraneka ragam budaya, salah
satunya adalah suku Minangkabau. Suku atau matriclan ialah unit utama dari
struktur sosial di Minangkabau. Seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang
Minangkabau jika ia tidak mempunyai suku. Setiap suku mempunyai adat yang satu
sama lain memiliki corak yang berbeda.
Di
Minangkabau, salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam adat adalah
pada saat masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi
seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya dan mulai
membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas
dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian, perkawinan dapat juga
disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Adat
Minangkabau menentukan bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari
suku yang serumpun, misalnya seseorang yang berasal dari suku jambak tidak
boleh kawin dengan seseorang yang dari suku jambak juga, karena garis keturunan
di Minangkabau ditentukan menurut garis keturunan ibu, jadi jika kawin dengan
suku yang sama di anggap bersaudara.
Menurut
Prof. Dr. Koentjaraningrat
kalau kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka disebut “eksogami
keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai
marga yang sama, maka disebut ‘eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin
dengan dengan orang yang berasal dari nagari yang sama, disebut “eksogami
nagari”. Di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu,
maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal”.
Jadi,
di Minangkabau dilarang kawin dengan suku yang sama termasuk di kenagarian
Kampung Batu Dalam. Larangan kawin satu suku ini tidak dalam konteks halal dan
haram, kesepakatan untuk tidak kawin satu suku adalah soal raso jo pareso.
Berdasarkan kekerabatan matrilineal, masyarakat Minangkabau merasa badunsanak
(bersaudara) dengan orang-orang sekaum atau satu suku. Jika ada yang melanggar
terhadap aturan adat, maka akan mendapat sanksi secara adat pula.
Larangan
kawin sapasukuan terutama nan sasako jo pusako jangan diartikan sebagai
penentangan terhadap hukum-hukum Islam yang menjadi landasan hukum adat
Minangkabau tetapi lihatlah sebagai keunikan suatu masyarakat yang menganut
system kekerabatan matrilineal yang menjunjung tinggi harkat kaum perempuan dan
memegang teguh rasa persaudaraan dengan pijakan raso jo pareso.
Singkatnya
penyebab dilarangnya kawin satu suku di Nagari Kampung batu Dalam adalah karena
masyarakat yang satu suku merasa bersaudara yang menjunjung tinggi raso jo
pareso. Jika dilakukan kawin satu suku, maka sama halnya dengan mengawini
saudara sendiri.
5. Akibat Kawin Satu Suku
Nikah
sesuku bagi orang Minang masih menjadi sebuah yang tabu dan sangat sakral untuk
dilanggar. Mereka yang mencoba kawin sesuku siap-siap saja terjamajinalkan dari
lingkungan keluarga dan masyarakat Minang dimana ia berdomisili. Menjadi bahan
kasak-kusuk orang satu kampung, cemoohan dan pengucilan. Orang yang satu suku
tidak boleh kawin, kendatipun mereka beda kabupaten/kota, kecamatan, desa,
jorong, selagi mereka dalam adat Minang satu suku (pisang, chaniago, koto,
siumbang, piliang dll.) maka akan susah bagi mereka melangsung sebuah
pernikahan.
Jika
Kawin satu suku dilakukan maka akan mendapatkan kutukan dalam biduk rumah
tangga dan keluarga (TIDAK SAMARA), diprediksikan tidak akan dikarunia
keturunan, Ada pun keturunan yang terlahir akan mengalami kecacatan fisik dan
keterbelakangan mental (akibat genetika), Kalau mereka mendapatkan keturunan
maka keturunan diperkirakan akan buruk laku (berakhlak buruk), Rumah tangganya
akan selalu dirundung pertekengkaran, perseteruan, Mereka yang kawin sesuku
diyakin sebagai pelopor kerusakan hubungan dalam kaumnya (kalangan satu suku),
Menimbulkan kesenjangan dalam tatanan sosial.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat di Nagari Kampung Batu
Dalam pada tanggal 26 Maret 2011,kawin satu suku memang menyebabkan anak
berakhlak buruk, rumah tangga di rundung pertengkaran, perseteruan, dan
menimbulkan kesenjangan sosial. Sementara pembicara lainnya, Alis Marajo Dt
Sori Marajo dalam makalahnya juga menyimpulkan, sasuku atau sapayuang
adalah status yang tidak elok dan menimbulkan kesenjangan sosial, hingga
berakibat terjadinya disporitas sosial di kalangan komunitas masyarakat
Minangkabau.
6. Sanksi Pelanggar kawin satu
Suku
Seandainya
terjadi perkawinan oleh orang yang se suku (sama sukunya) maka terhadap orang
tersebut dikenakan denda dan hukuman secara adat, agar orang tersebut tetap
dibawa dan diikut sertakan dalam kehidupan masyarakat adat, dan kepada salah
seorang yang telah melakukan perkawinan se suku tersebut juga harus diganti
sukunya (agar tidak sesuku). Apabila denda dan hukuman tidak dilakukan serta
tidak diadakan penggantian suku, maka orang yang melakukan perkawinan tersebut
tidak diikutkan tidak dibawa serta oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Jadi dengan adanya penggantian suku bagi orang yang melakukan
perkawinan se suku tersebut, maka akan terjaga / tetap berlaku sistem eksogami.
Kawin satu suku memang mengundang banyak polemik. Namun sebelum kita melihat
lebih dalam lagi tentang masalah apapun dalam adat, kita harus menyadari bahwa
adat setiap nagari itu berbeda.
Di
Nagari Kampung batu Dalam kawin satu suku dilarang pelarangan kawin satu suku,
ada yang melarang sejurai, ada yang melarang saparuik. Khusus jika ada satu
suku dalam saparuik yang kawin maka akan dihukum secara adat yaitu
dibuang ke desa yang mau menerimanya.
Lalu apakah hukuman yang biasa di berikan bagi yang melanggar
peraturan adat? Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat
pada tanggal 26 Maret 2011, maka hukumannya adalah membayar denda kepada nagari
yaitu berupa kambing,kerbau atau tergantung kesepakatan para petinggi adat,
kemudian diadakan makan bersama dengan mengundang orang sekampung. Apabila yang
melakukan pelanggaran tersebut tidak mau membayar denda, maka baru dijatuhkan
hukuman yang lebih berat yaitu dibuang sepanjang adat. Lalu apakah ada
mekanisme pengampunan ketika sipelanggar telah dibuang dari adat ? Memang ada
tetapi harus tetap membayar denda tadi. Jika sudah dibayar maka dia akan
diterima lagi.
6. Dampak Kawin
Satu Suku
Tujuan
penulisan ini adalah untuk menganalisis dampak perkawinan satu suku dan
faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan tersebut terjadi serta perkawinan
antara anggota suku yang berbeda akan menjamin kelangsungan sistem kekerabatan
matrilineal di Kampung Batu Dalam.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan perkawinan satu suku berdampak pada
rusaknya tatanan adat yang sudah berlaku sejak lama, pemberian sanksi bagi
pelaku dan keluarga baik moril maupun materiil, hilangnya hak terhadap harta
pusaka dan kaburnya sistem kekerabatan matrilineal dan cenderung mengarah ke
sistem parental. Agama, pergaulan bebas, berkurangnya wibawa penghulu adat,
pendidikan dan melemahnya daya ikat peraturan adat menjadi faktor- faktor
penyebabnya dan oleh karena itu dengan perkawinan antara anggota suku yang
berbeda tetap menjamin kelangsungan sistem kekerabatan matrilineal.
6.
FILOSOFI
Poin penting
yang dapat kita tarik di sini adalah bahwa sebuah institusi, perkumpulan
ataupun lembaga boleh saja melarang sesuatu yang dibolehkan agama karena
mempertimbangkan maslahat yang ada di dalamnya. Yang tidak boleh itu adalah
melarang sesuatu yang diwajibkan agama. Saat lembaga melarang pelaksanaan
salat, jilbab, khitan dan kewajiban-kewajiban lainnya, maka angkat suara adalah
tindakan yang harus dilakukan. Ini pulalah salah satu bentuk komprehensifnya ajaran
Islam. Ada taat kepada Allah, taat kepada Rasul Saw, ada pula taat kepada ulil
amri. Sekolah, negara, dan adat adalah di antara bentuk ulil amri
yang wajib ditaati selama bukan dalam maksiat.
Tentu semua
orang di negara ini sepakat dengan dua analogi yang tadi saya paparkan.
Sekarang mari kita kaitkan dengan fenomena larangan nikah sasuku. Manikah dalam
agama Islam boleh dengan siapa saja, selama bukan dengan anggota keluarga yang
terikat hubungan mahram. Ingat, sepupu itu bukan mahram, sehingga bersentuhan
dengan sepupu lawan jenis dapat membatalkan wuduk. Namun kenyataan yang kita
hadapi kini adalah bahwa adat melarang pernikahan yang terjadi antara dua insan
yang memiliki suku yang sama, berada dalam satu nagari (kelurahan)
yang sama, dan memiliki datuak yang sama.
Pikirkan
kembali! Dalam hal ini adat tidak melarang sesuatu yang diwajibkan agama, namun
adat melarang sesuatu yang didiamkan agama. Tidak diperintahkan, tidak pula
dilarang. Masih banyak pasangan yang bisa didapat dari luar suku si calon
pengantin. Jikapun hati telah terpaut hingga mencapai taraf hubban jamma, hidup
bersama tidak di atas tanah pusako bukan masalah besar bukan?
Berbeda halnya,
jika ada perintah agama yang memerintahkan kita untuk menikahi kerabat satu
suku, dan adat melarangnya. Ini baru patut digugat. Tapi ternyata tidak ada
perintah demikian bukan?
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Banyaknya pelanggaran terhadap adat
oleh masyarakat disebabkan kurangnya pemahaman terhadap adat anak karena tidak
saling mengenal satu sama lain dalam satu persukuan. Kawin satu suku meruapakan
salah satu pelanggaran terhadap adat tersebut, di Minang Kabau khususnya di
Nagari kampung Batu Dalam, jika ada yang melakukan kawin satu suku, maka akan
dikenakan hukuman secara adat. Dan bagi yang melakukan kawin satu suku dapat
merusak tatanan sosial atau tatanan adat yang telah berlaku sejak lama.
Bagi yang melakukan kawin satu suku,
secara sosiologis berpengaruh terhadap kepribadian anak. Anak hasil
perkawinan satu suku akan berakhlak buruk, dan juga berdampak pada pasangan itu
sendiri, rumah tangganya tidak harmonis, sering terjadi pertengkaran da perseteruan
dalam keluarga itu.
Sedangkan dikaji secara
antropologi,kawin satu suku dapat menyebkan kesenjangan salah satu unsur
kebudayaan atau penyimpangan unsur kebudayaan. Salah satu unsur
kebudayaan tersebut adalah adat. Karena itu kawin satu suku merupakan penyimpangan
adat.
Komentar
Posting Komentar